Asumsi dasar Teori Vygotsky
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, Lev Semenovich Vygotsky adalah cendekia yang berasal dari Rusia, dia seorangahli dalam bidang psikologi, filsafat, dan sastra. Filosofi Vygotsky yang sangat terkenal adalah mengenai manusia dan lingkungan. Menurut Vygotsky ‘manusia tidak seperti hewan yang hanya bereaksi terhadap lingkungan, manusia memiliki kapasitas untuk mengubah lingkungan sesuai keperluan mereka’(Schunk, 2012 : 338). Pemikiran filosofis Vygotsky yang mengenai manusia kemudian menjadi pelopor lahirnya teori konstruktivisme sosial yang artinya membangun kognitif anak melalui interaksisosial. Lev Vygotsky sangat tertarik mengupas hakikat dari serangkaian aktivitas bermakna dilingkungan social-kultural dalam memperngaruhi konstruksi kognitif seorang anak. Maka dari itu pemikiran Lev vygotsky sering disebut sebagai perspektif sosio kultural.
Asumsi dasar dari teori konstruktivisme sosial Vygotsky adalah “What the child can doin cooperation today he can do alone tomorrow” (Warsono, 2012: 59) yang artinya Apa yang dilakukan atau dipelajari anak hari ini dengan bekerja sama (kelompok) dapat dilakukannnya secara mandiri pada masa yang akan datang. Menurut Lev Vygotsky pelajar memiliki dua tingkat perkembangan berbeda : tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial’. Tingkat perkembangan aktual adalah ketika anak bekerja untuk menyelesaiakan tugas atau soal tanpa bantuan orang lain. Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat dari kompetensi anak yang dapat tercapai ketika dia dibantu oleh orang lain. Atas dasar asumsi tersebut, Vygotsky memberi saran agar guru bisa berkolaborasi dengan anak serta memfasilitasi anak untuk membangun pengetahuan dengan diskusi, tanya jawab,bahkan berdebat dengan teman sebayanya. Anak-anak pada awal perkembangannya membangun kognitif melalui proses mental yang rendah. Pengembangan kognitif berlanjut dengan proses mental yang lebih tinggi, kemampuan berbahasa, berhitung, berfikir, mengingat, pemecahan masalah, perhatian spontan, intuisi, dan skema memori dapat diperoleh dan ditingkatkan melalui interaksi sosial seperti bermain dan berdialog. Untuk mencapai tahapan kognitif yang lebih tinggi, anak-anak membutuhkan pasangan yang lebih berkompeten contohnya orang tua, guru, kakak, atau teman sebayanya yang lebih pintar. Selain pasangan untuk berkolaborasi, anak-anak juga memerlukan tugas yang menantang agar membantu perkembangan kognitifnya. Melalui kolaborasi dengan orang tua dan teman sebaya serta difasilitasi oleh tugas yang menantang,anak akan memperoleh perangkat-perangkat kognitif seperti bahasa, symbol, peta, gambar,obrolan, serta pemecahan masalah. Pada saat anak terampil mengolah perangkat kognitif mereka melalui aktivitas-aktivitas social, maka peningkatan kemampuan kognitifnyapun niscaya meningkat. Menurut Ormrod(2008:57) “proses berkembanganya aktivitas-aktivitas social menjadi aktivitas-aktivitasmental internal disebut internalisasi”.
Dalam segala aktivitas sosialnya dengan guru, orangtua, maupun teman sebaya, anak-anak senantiasa menginternalisasikan setiap arahan yang mereka peroleh sehingga pada akhirnya mereka mampu memberikan arahan pada dirisendiri untuk menyelesaikan tugas belajarnya. Dalam segala aktivitas sosialnya dengan guru, orangtua, maupun teman sebaya, anak-anak senantiasa menginternalisasikan setiap arahan yang mereka peroleh sehingga pada akhirnya mereka mampu memberikan arahan pada dirisendiri untuk menyelesaikan tugas belajarnya. Untuk memfasilitasi proses internalisasi tersebut Vygotksy mengetengahkan suatu wilayah diantara perkembangan actual dan potensial, yang disebut zone of proximal development(ZPD).
Selasaras dengan pernyataan Schunk (2008:341) yang menyatakan bahwa ZPD didefinisikan “sebagai jarak antara level perkembangan actual yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri dan level potensial perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bantuan orang dewasa atau dengan kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu”. ZPD dimaknai juga sebagai zona belajar yang mampu dijangkau oleh anak-anak, zona actual terlalu mudah sehingga menyebabkan stagnan kemampuan kognitif siswa, sebaliknya zona potensial terlalu sulit dijangkau siswa meskipun dengan bantuan orang dewasa,sehingga dampaknya adalah frustasi. Dalam membangun ZPD guru dan siswa berkolaborasi dalam sebuah penyelesaian tugas terstruktur yang menantang siswa,sehingga bantuan dari guru atau teman sebaya yang lebih mumpuni akan sangat membantu.Jika anak kemudian mampu mengatasi kesulitannya secara mandiri dengan dibantu oleh guru atau teman sebaya yang lebih mumpuni, maka bersamaan dengan itu level kognitifnya meningkat. Seorang anak akan mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi jika anak perlahan mulai dapat mengurangi ketergantungan terhadap orang lain dalam pemecahan masalah. Schunk, (2012 : 339) menegaskan bahwa “aspek-aspekcultural-historisdariteori Vygotsky menonjolkan pemikiran bahwa pembelajaran dan perkembangan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Cara siswa berinteraksi dengan dunia mereka, orang-orang, objek, dan intuisi-intuisi di dalamnya mengubah cara berfikir mereka”. Berdasarkan penjabaran mengenai aspek-aspek cultural-historis dari teori Vygotsky yang dikemukakan oleh Schunk, penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya sekolah sebagai lingkungan sosial pedagogis mampu memberikan ruang bagi siswa untuk melakukan interaksi. Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi siswa dengan lingkungan sosial merupakan aktivitas bermakna yang akan mengkonstruk beragam pengetahuan.
Teori Vygotsky bisa diaplikasikan oleh seorang guru di dalam kelas, guru bisa menerapkan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berkolaborasi dengan teman sebaya dalam kelompok kecil. Salah satu pembelajaran yang memungkinkan terciptanya iklim kelas yang interaktif dan kolaboratif adalah Pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif memungkinkan siswa untuk menjalin hubungan interaksi sosial dengan teman sebaya yang lebih berkompeten melalui arahan dan bimbingan dari guru. Iklim kelas dalam Pembelajaran kooperatif dapat memfasilitasi siswa dalam membangun kualitas berpikir serta membangun kultur sosialnya dalam pembelajaran berkelompok. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa teori Vygotsky merupakan salah satu teori yang melandasi pelaksanaan pembelajaran kooperatif di dalam kelas. 2.Pembelajaran Kooperatif dan Teori Interdepedensi Sosial Pembelajaran kooperatif yang dikonstruksi oleh hubungan antara teori, risetdan pelaksanaan.
Pada tulisan ini penulis berusaha memberikan gambaran pembelajaran kooperatif yang lebih memadai dengan menonjolkan komponen-komponen didalamnya serta mengangkat teori interdepensi social sebagai elemen penting dalam pembelajaran kooperatif. Teori Interdepedensi social menyediakan dasar pemikiran pada sesuatu yang akan dibangun oleh pembelajaran kooperatif. Tulisan ini disadur dari karya dua bersaudara yaitu DW Johnson & R. Johnson. Kedua bersaudara ini merupakan pengembang pembelajaran kooperatif dengan temuannya yaitu mengenai metode Learning Together dan Constructive Contriversion. Menurut Johnson dan Johnson pembelajaran kooperatiftidak bisa disamakan dengan pembelajaran kelompok, pembelajaran kelompok akan terlihat layaknya pembelajaran kooperatif jika memenuhi kelima unsure berikut : a.Saling ketergantungan positif, yaitu anggota tim terikat untuk bekerja sama satu sama lain dalam mencapai tujuan pembelajran. Jika ada anggota tim yang gagal mengerjakan bagiannya, setiap orang anggota tim lainnya akan memperoleh konsekuensinya. (swim orsink together) b.Tanggung jawab individu, yaitu seluruh siswa dalam tim bertanggung jawab untuk mengerjakan bagian tugasnya sendiri serta wajib menguasai seluruh materi pembelajaran. c.Interaksi tatap muka, walaupun setiap anggota tim secara perorangan mengerjakan tugas bagiannya sendiri,sejumlah tugas harus dikerjakan secara interaktif, masing-masing memberikan masukan, penalaran dan kesimpulan, dan lebih penting lagi mereka saling mengajari dan memberikan dorongan satu sama lain. d.Penerapan keterampilan kolaboratif,di mana siswa didorong dan dibantu untuk mengembangkan rasa saling percaya, kepemimpinan, pengambilan keputusan, komunikasi dan keterampilan mengelola konflik. e.Proses kelompok, di mana anggota tim menetapkan tujuan kelompok, secara periodic menilai hal-hal yang tercapai dengan baik dalam tim, serta mengidentifikasi perubahan yang harus dilakukan agar ke depan tim dapat berfungsi lebih efektif. (Warsono,2012:168). Berdasarkan kelima unsur yang telah dikemukakan oleh Johnson & Johnson, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki karakter yang khas. Karakter pembelajaran kooperatif dapat terlihat dari individu-individu yang bekerja didalam satu kelompok, mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Di dalam pembelajaran kooperatif harus tercipta saling ketergantungan social antara anggota kelompok. Saling ketergantungan sosial bisa diciptakan dengan keterikatan tugas yang melibatkan semua individu dalam kelompok. Setiap individu memiliki tanggung jawab tugas yang menyangkut kepentingan kelompok. Jika salah satu individu lalai dalam mengerjakan tugasnya, konsekuensi akan diterima seluruh anggota kelompok. Kunci dari pembelajaran kooperatif adalah kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas yang dibutuhkan kelompok demi mencapai keberhasilan. Oleh karena sebelum pengerjaan tugas dimulai, sudah seharusnya guru perlu memberikan penekanan atau nasehat akan pentingnya kerjasama tim dan ketergantungan sosial yang positif. Pembelajaran kooperatif telah banyak digunakan dan diteliti oleh para guru diseluruh negara, tidak terkecuali di Indonesia.Telah banyak mahasiswa keguruan dan ilmu pendidikan menggunakan model pembelajaran kooperatif sebagai topic penelitiannya, tetapi ironisnya penggunaan model pembelajaran kooperatif hanya digunakan untuk keperluan penelitan, setelah penelitian selesai maka berakhirlah pembelajaran kooperatif dan hanya menghasilkan rekomendasi semu bagi sekolah. Pembelajaran kooperatif dibangun oleh teori konstruktivisme social dari vygotsky. Kondisi sosio kultural dalam bentuk interaksi social dengan guru dan teman sebaya akan membantu anak dalam membangun kemampuan kognitifnya, Asumsi dasar Vygotsky yaitu apa yang dilakukan oleh anak secara bersama-sama hari ini, suatu hari nanti ia akan mampu melakukannya sendiri. Selain teori Vygotksy pembelajaran kooperatif juga ditunjang oleh teori saling ketergantungan social secara positif (interdependency social). Pembelajaran kooperatif harus terori entasi pada pembentukan rasa saling bergantung secara social antara individu di dalam suatu kelompok belajar. Rasa ketergantungan social akan memupuk rasa tanggung jawab, akuntabilitas, kohesifitas, serta semangat belajar setiap individu dalam kelompok tersebut. Mengingat betapa banyaknya manfaat pembelajaran kooperatif bagi perkembangan kognitif dan sosial siswa, sudah seharusnya lembaga pendidikan memberikan pembekalan dan pengawasan terkontrol terhadap guru-guru di seluruh Indonesia agar mulai menjelajahi beragam pendekatan dan teknik dari pembelajaran kooperatif. Dengan makin banyaknya guru yang menggunakan pembelajaran kooperatif, penulis yakin bahwa pendidikan di Indonesia perlahan akan mengalami perbaikan dari segi kualitas proses pendidikan.
Sumber : Suci, Y. T. (2020). MENELAAH TEORI VYGOTSKY DAN INTERDEPEDENSI SOSIAL SEBAGAI LANDASAN TEORI DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF DI SEKOLAH DASAR. NATURALISTIC : Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan Dan Pembelajaran, 3(1), 231-239. https://doi.org/10.35568/naturalistic.v3i1.269
Komentar
Posting Komentar